Keangkuhanku.
Aku selalu membutuhkanmu,
kau selalu ada setiap saat menemaniku. Saat aku senang kau ikut senang dan
tertawa bersamaku. Saat aku bersedih kau menemaniku dan mendengarkan
tangisanku. Saat aku marah kau rela menjadi pelampiasan amarah dan ke-kesalanku.
Kau lakukan apapun yang kumau. Tapi maaf jika rasa sakit hati yang kuberi
padamu.
"Aku mulai tak merasakan kehangatanmu bahkan ketulusan cintamu!" marahku.
"Kau yang memberi benteng diantara kita."
Aku menatapnya tak percaya, penuh akan kecurigaan. Apa di hatinya masih ada aku? Atau sudah terisi oleh orang lain?
Tapi ku tak ingin ia mencintai orang lain, cukup hanya mencintaiku seorang. Aku memang tampak egois dan tak peduli tapi inilah aku, aku yang memilikimu.
"Karena perasaan kita yang memang sudah berbeda." lanjutnya.
"Beda? Kau salah!" bantahku.
"Dan aku memang selalu salah! Dan itu adalah kenyataan!" tegasnya.
Aku duduk menutup wajahku, malu? Tidak. Menahan tangis.
"Kau tak pernah mengerti perasaanku!" marahku padanya. "Tak mengerti perasaanmu kau bilang? Hah! Bahkan kau tak peduli rasa sakitku saat kau tengah berdua dengan pria idamanmu itu! Kau tak peduli seberapa khawatirnya aku saat aku tak bisa menghubungimu saat kau bersama pria itu. Bahkan kau tak akan peduli akan amarahku!"
"Kau tahu posisiku! Kau..kau.." aku tak dapat melanjutkan kata-kataku.
"Kau anggap marahku lucu hah!? Teruslah seperti itu!"
Aku mengalihkan pandanganku, tak mendengarkan amarah yang menyelimutinya.
"Kau meremehkanku."
Aku menggeleng.
"Lalu apa kalau bukan meremehkanku!?" pertanyaannya menyudutkanku.
Diam, aku membisu beberapa saat. Sampai ia kembali bertanya lagi. "Apa kau meremehkanku!?"
Aku memejamkan mataku, air mataku tumpah begitu saja. "Hentikan!"
"Hentikan apa hah!? Kau selalu berbuat sesukamu! Kau bahkan menindasku, sangat tampak meremehkanku. Kau tahu bukan jika aku tak suka diremehkan!"
"Aku tahu." air mataku tak kunjung reda.
"Jawab aku! Cukup kau tak menjawab tentang perasaanmu padaku." "Haruskah aku menjawabnya?"
"Aku selalu menjawab pertanyaan darimu walau terkadang tak jelas tapi aku berusaha menjawab."
"Apa kau bisa menjawab pertanyaanku yang satu ini?"
"Kau belum jawab pertanyaanku! Jangan balik bertanya!!" marahnya.
"Jawab saja!" teriakku. "Apa dihatimu masih ada aku? Apa ada orang lain yang mulai menggeser posisiku dihatimu? Mengapa kau berubah, lebih dingin" aku memegang tangannya, ia menghempas tanganku.
"Apa tak cukup air mataku selama ini? Apa tak cukup amarahku tersulut karena kecemburuanku? Apa tak cukup pengertianku selama ini? Apa kau bisa menyimpulkan jawabanku? Aku tahu kau pintar dan kau pasti bisa menyimpulkan." aku mengangguk.
"Aku hanya binggung dengan perasaanku sendiri. Jujur aku tak dapat melepasmu begitu saja tapi entahkenapa aku malah semakin menyakitimu disaat aku mencoba mempertahankanmu."
"Aku tahu, aku adalah orang ketiga dan kau adalah pemeran utamanya. Kau yang menjadi sutradaranya, penulis skenario dan apapun itu. Kau berkuasa"
"Aku membutuhkanmu, aku membutuhkanmu agar tetap disisiku. Bisakah kau?" aku menangis sejadi-jadinya.
Ia memegang wajahku dengan kedua tangannya, menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
"Maaf." ia mengecup keningku.
"Apa? Kau akan pergi meninggalkanku? Tidak! Entahbagaimana jika aku tanpamu? Aku tak bisa memilih kau tahu itu bukan!?" panikku, ia hanya menatapku dalam-dalam.
"Aku mencintaimu, walau seberapa banyak kau menggoreskan luka padaku. Aku menikmatinya, menikmati rasa indah ini bersamaan."
"Ak..k..ku..u"
"Kau tak perlu menjawabnya." ia tersenyum padaku lalu mengecup bibirku lembut.
'Ini adalah keangkuhanku, sulit bagiku mengatakan aku menyayangimu..'
"Aku mulai tak merasakan kehangatanmu bahkan ketulusan cintamu!" marahku.
"Kau yang memberi benteng diantara kita."
Aku menatapnya tak percaya, penuh akan kecurigaan. Apa di hatinya masih ada aku? Atau sudah terisi oleh orang lain?
Tapi ku tak ingin ia mencintai orang lain, cukup hanya mencintaiku seorang. Aku memang tampak egois dan tak peduli tapi inilah aku, aku yang memilikimu.
"Karena perasaan kita yang memang sudah berbeda." lanjutnya.
"Beda? Kau salah!" bantahku.
"Dan aku memang selalu salah! Dan itu adalah kenyataan!" tegasnya.
Aku duduk menutup wajahku, malu? Tidak. Menahan tangis.
"Kau tak pernah mengerti perasaanku!" marahku padanya. "Tak mengerti perasaanmu kau bilang? Hah! Bahkan kau tak peduli rasa sakitku saat kau tengah berdua dengan pria idamanmu itu! Kau tak peduli seberapa khawatirnya aku saat aku tak bisa menghubungimu saat kau bersama pria itu. Bahkan kau tak akan peduli akan amarahku!"
"Kau tahu posisiku! Kau..kau.." aku tak dapat melanjutkan kata-kataku.
"Kau anggap marahku lucu hah!? Teruslah seperti itu!"
Aku mengalihkan pandanganku, tak mendengarkan amarah yang menyelimutinya.
"Kau meremehkanku."
Aku menggeleng.
"Lalu apa kalau bukan meremehkanku!?" pertanyaannya menyudutkanku.
Diam, aku membisu beberapa saat. Sampai ia kembali bertanya lagi. "Apa kau meremehkanku!?"
Aku memejamkan mataku, air mataku tumpah begitu saja. "Hentikan!"
"Hentikan apa hah!? Kau selalu berbuat sesukamu! Kau bahkan menindasku, sangat tampak meremehkanku. Kau tahu bukan jika aku tak suka diremehkan!"
"Aku tahu." air mataku tak kunjung reda.
"Jawab aku! Cukup kau tak menjawab tentang perasaanmu padaku." "Haruskah aku menjawabnya?"
"Aku selalu menjawab pertanyaan darimu walau terkadang tak jelas tapi aku berusaha menjawab."
"Apa kau bisa menjawab pertanyaanku yang satu ini?"
"Kau belum jawab pertanyaanku! Jangan balik bertanya!!" marahnya.
"Jawab saja!" teriakku. "Apa dihatimu masih ada aku? Apa ada orang lain yang mulai menggeser posisiku dihatimu? Mengapa kau berubah, lebih dingin" aku memegang tangannya, ia menghempas tanganku.
"Apa tak cukup air mataku selama ini? Apa tak cukup amarahku tersulut karena kecemburuanku? Apa tak cukup pengertianku selama ini? Apa kau bisa menyimpulkan jawabanku? Aku tahu kau pintar dan kau pasti bisa menyimpulkan." aku mengangguk.
"Aku hanya binggung dengan perasaanku sendiri. Jujur aku tak dapat melepasmu begitu saja tapi entahkenapa aku malah semakin menyakitimu disaat aku mencoba mempertahankanmu."
"Aku tahu, aku adalah orang ketiga dan kau adalah pemeran utamanya. Kau yang menjadi sutradaranya, penulis skenario dan apapun itu. Kau berkuasa"
"Aku membutuhkanmu, aku membutuhkanmu agar tetap disisiku. Bisakah kau?" aku menangis sejadi-jadinya.
Ia memegang wajahku dengan kedua tangannya, menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
"Maaf." ia mengecup keningku.
"Apa? Kau akan pergi meninggalkanku? Tidak! Entahbagaimana jika aku tanpamu? Aku tak bisa memilih kau tahu itu bukan!?" panikku, ia hanya menatapku dalam-dalam.
"Aku mencintaimu, walau seberapa banyak kau menggoreskan luka padaku. Aku menikmatinya, menikmati rasa indah ini bersamaan."
"Ak..k..ku..u"
"Kau tak perlu menjawabnya." ia tersenyum padaku lalu mengecup bibirku lembut.
'Ini adalah keangkuhanku, sulit bagiku mengatakan aku menyayangimu..'